Opini

Rahmat Libunelo: Kebijakan Transportasi Memang Tidak Populer, tetapi Harus Konsisten

SENANDIKA.ID – Kebijakan pola perjalanan dalam sistem transportasi adalah upaya untuk mengatur dan mengendalikan pergerakan orang dan barang agar lebih efektif serta efisien. Dalam mendukung keberhasilan kebijakan ini, perlu didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga sistem transportasi yang diatur tidak hanya mencakup rekayasa lalu lintas, tetapi juga sarana pendukung seperti jalur pedestrian dan sistem parkir yang berkeadilan.

Kebijakan uji coba sistem satu arah yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Gorontalo di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Nani Wartabone (eks Jalan Panjaitan) merupakan langkah maju dalam mengubah wajah Kota Gorontalo. Namun, data pergerakan orang yang diperoleh dari uji coba ini perlu direkayasa ulang agar konflik di persimpangan tidak sekadar berpindah tempat dan justru menimbulkan tundaan di simpang-simpang lain yang terhubung langsung dengan sistem yang diterapkan saat ini.

Oleh karena itu, dibutuhkan konsep rekayasa berbasis data serta pengolahan data yang berpedoman pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) yang berlaku, juga pemodelan ulang agar kebijakan benar-benar didasarkan pada perhitungan teknis rekayasa transportasi. Pemodelan akhir ini sebaiknya dapat digunakan hingga lima tahun ke depan.

Menurut Dosen Transportasi Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Ir. Rahmat Libunelo, ST., MT., implementasi pengaturan pola perjalanan transportasi di Kota Gorontalo merupakan langkah strategis dalam menciptakan sistem mobilitas orang yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Namun, kebijakan ini tidak boleh bersifat reaktif semata, melainkan harus dibangun di atas fondasi sistem transportasi yang adaptif untuk mendukung pertumbuhan kota di masa depan. Selain itu, kesuksesan kebijakan ini juga bergantung pada kemampuan masyarakat atau para pengguna jalan dalam menyesuaikan diri dan menaati peraturan yang ditetapkan.

Rahmat menjelaskan bahwa untuk mengatasi kemacetan, tundaan, dan konflik kendaraan di persimpangan, kebijakan pola perjalanan (rekayasa lalu lintas) seperti sistem satu arah tidak dapat berdiri sendiri. Pemerintah perlu melakukan pendekatan integratif dengan menghubungkan sistem tersebut ke terminal pengumpul yang sudah tersedia melalui transportasi publik yang terkoneksi.

Dosen transportasi tersebut memandang bahwa permasalahan transportasi di Kota Gorontalo dapat dikelompokkan ke dalam tiga isu utama, yaitu: mikro transportasi (konflik di persimpangan, keselamatan pengguna jalan), dan makro transportasi yang menekankan pentingnya sistem transportasi publik untuk mengurangi emisi kendaraan.

“Hal ini berdasarkan pada analisis transportasi perkotaan yang bersifat multidimensi, menggabungkan pendekatan teknis, manajemen lalu lintas, dan partisipasi masyarakat,” papar Rahmat.

Ia menambahkan bahwa ke depan, untuk mengurangi konflik kendaraan dan meningkatkan keselamatan di persimpangan, pemerintah dapat melakukan rekayasa ulang terhadap fase lampu lalu lintas, khususnya di simpang bersinyal sebidang yang jarak antar-simpangnya pendek. Menurut Rahmat, alat pemberi isyarat lalu lintas sebaiknya sudah berbasis smart traffic light agar kepadatan kendaraan dan Level of Service (LOS) simpang dapat dicapai secara optimal. Untuk simpang yang tidak bersinyal, dapat digunakan sistem bundaran (roundabout), terutama di titik-titik rawan kecelakaan.

“Pendekatan ini tentu dapat meminimalkan potensi tabrakan karena mengurangi persilangan langsung antar-kendaraan,” ujarnya.

Lebih lanjut, untuk meningkatkan keselamatan, Rahmat menekankan perlunya integrasi antara penegakan hukum dan rekayasa jalan, khususnya dalam penerapan kebijakan traffic calming (pelambatan lalu lintas), seperti pemasangan speed bump dan zebra cross berdasarkan desain yang berbasis data komprehensif. Misalnya, zona publik seperti sekolah dan rumah sakit perlu didesain ulang agar lebih melindungi pejalan kaki dan ramah terhadap pengendara yang rentan.

Selain itu, diperlukan pula edukasi publik mengenai budaya tertib berlalu lintas, yang dapat dimulai dari pelajar, komunitas pengguna jalan, hingga pelaku transportasi umum di Kota Gorontalo.

“Melalui kampanye kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan komunitas, semua pihak dapat berperan aktif menciptakan kesadaran keselamatan. Dengan demikian, setiap orang bisa menjadi pahlawan transportasi bagi dirinya sendiri,” jelasnya.

Terakhir, untuk menekan emisi kendaraan dari pengguna transportasi, perlu dilakukan optimalisasi peralihan ke moda transportasi publik yang ramah lingkungan. Ini dapat diwujudkan melalui kebijakan transportasi umum berkelanjutan dan terintegrasi yang menawarkan ketepatan waktu, kenyamanan, keamanan, dan kepastian tarif, agar masyarakat terdorong untuk beralih dari kendaraan pribadi. Dalam konteks makro transportasi, pengembangan Bus Rapid Transit (BRT) dan penerapan Transit-Oriented Development (TOD) perlu dikaji secara mendalam agar tidak menimbulkan kerugian investasi.

Meskipun kebijakan transportasi semacam ini mungkin tidak populer bagi Wali Kota Adhan Dambea, pemerintah tetap harus konsisten dalam keberpihakan terhadap sistem transportasi yang berkelanjutan. Rahmat berharap kehadiran pemerintah dalam bentuk kebijakan dan regulasi terus ditingkatkan. Misalnya, melalui pemberlakuan pembatasan kendaraan pribadi seperti kebijakan odd-even pada jam sibuk, atau penataan sistem parkir, khususnya yang menggunakan badan jalan sebagai tempat parkir.

“Evaluasi berkala berbasis data dan keterbukaan terhadap masukan dari para pemangku kepentingan menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan ini,” pungkas Ir. Rahmat Libunelo, ST., MT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button