SENANDIKA.ID – Mahasiswa Pecinta Alam, atau yang akrab disebut Mapala, merupakan organisasi yang lahir dari keresahan terhadap kondisi bangsa dan lingkungan. Mapala hadir sebagai wadah bagi mahasiswa dan anak muda untuk menjalin kedekatan dengan alam sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan konservasi.
Sejak awal kemunculannya, Mapala bukan hanya menjadi simbol pergerakan mahasiswa, tetapi juga roh baru dalam menciptakan kesadaran ekologis di kalangan generasi muda. Kegiatan petualangan seperti pendakian gunung, susur sungai, dan eksplorasi alam lainnya, tak semata soal adrenalin dan panorama. Di balik itu semua, terdapat pendidikan karakter membentuk pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, dan memiliki kepekaan sosial serta lingkungan.
Konservasi dan Karakter: Fondasi Ganda Mapala
MAPALA berdiri di atas dua pilar penting: konservasi alam dan pembentukan karakter. Kesadaran anggota terhadap isu-isu lingkungan seperti deforestasi, perubahan iklim, hingga kerusakan ekosistem menjadi nilai dasar yang harus dipegang teguh. Dengan potensi jangkauan sosial yang besar, Mapala sejatinya bisa menjadi kekuatan penting dalam mewujudkan masyarakat yang sadar ekologis.
Namun, di tengah realitas saat ini, Mapala justru menghadapi krisis identitas dan tantangan multidimensional yang signifikan. Disrupsi digital telah menggeser cara generasi muda memaknai alam. Banyak anggota yang lebih terpikat pada citra visual, foto estetik di puncak gunung, unggahan Instagram dari balik tenda, daripada menanamkan nilai konservasi dan etika lingkungan yang menjadi ruh ideologis Mapala itu sendiri.
Antara Glorifikasi Petualangan dan Lupa Tujuan
Salah satu kritik mendalam terhadap Mapala adalah kegagalannya dalam menanamkan pendidikan karakter secara utuh. Aktivitas alam bebas justru kerap terjebak dalam glorifikasi petualangan semata, meninggalkan aspek kontribusi nyata terhadap pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Lebih ironis lagi, tak jarang aktivitas organisasi justru memunculkan paradoks: mengusung cinta alam namun meninggalkan jejak ekologis yang merusak. Mulai dari kurangnya etika dalam eksplorasi alam hingga minimnya refleksi kritis atas dampak kegiatan mereka. Fenomena ini menandakan bahwa aktivitas Mapala dalam pelestarian lingkungan mulai tergerus.
Budaya diskusi dan kajian yang dulu menjadi napas intelektual organisasi kini mulai ditinggalkan. Padahal, pendiri Mapala seperti Soe Hok Gie adalah seorang intelektual muda, aktivis, dan penulis tajam yang tak segan mengkritik ketidakadilan. Warisan intelektual ini seharusnya tetap hidup dan menjadi pembeda Mapala dari sekadar komunitas petualangan biasa.
Mengembalikan Jati Diri Pecinta Alam
Mapala perlu melakukan pembenahan menyeluruh dalam menghadapi tantangan zaman. Di tengah parahnya kerusakan lingkungan akibat industrialisasi dan modernisasi, organisasi ini dituntut untuk kembali pada nilai-nilai kepecintaalaman yang otentik.
Diskusi kritis, kajian lingkungan, dan riset harus kembali menjadi bagian penting dari aktivitas. Dengan begitu, Mapala bukan hanya membentuk pribadi yang tangguh secara fisik, tetapi juga tajam secara intelektual dan etis. Aktivitas petualangan seharusnya tak dilepaskan dari tanggung jawab sosial dan ekologis yang menyertainya.
Sudah saatnya Mapala bergerak melampaui sekadar pencitraan visual. Ia harus kembali menjadi rumah perjuangan mahasiswa untuk menjaga, merawat, dan mencintai alam dengan sungguh-sungguh bukan hanya dari lensa kamera, tetapi juga dari nurani dan aksi nyata.





One Comment