OpiniTeknologi

Jurnalisme di Persimpangan: Ketika AI Mengetik Lebih Cepat dari Wartawan

Oleh: Setiawan Adi Setyo

SENANDIKA.ID – Di ruang-ruang redaksi modern, perubahan besar sedang berlangsung secara senyap namun cepat. Kecerdasan buatan (AI), yang dulunya hanya digunakan sebagai alat bantu untuk mentranskrip wawancara atau menyortir data, kini telah mengambil peran lebih jauh: menjadi penulis berita itu sendiri.

Sejumlah media besar dunia seperti The Washington Post telah menggunakan sistem bernama Heliograf untuk menulis ribuan artikel sejak tahun 2016. Reuters dan Bloomberg memanfaatkan sistem otomatisasi untuk melaporkan fluktuasi pasar dan rilis keuangan perusahaan.

Di Asia dan Eropa, media berbasis data telah menggunakan AI untuk menghasilkan laporan olahraga, hasil pemilu, dan ringkasan peristiwa secara real time. Di Indonesia, walaupun adopsinya belum seluas di negara maju, namun sudah digunakan dalam penyusunan artikel-artikel ringan, berita trending, hingga membantu mengoptimalisasi konten untuk media sosial.

Kehadirannya memberikan efisiensi yang tak terbantahkan. Dalam hitungan detik, AI dapat mengolah data, menyusunnya menjadi paragraf yang rapi, dan menyesuaikannya dengan gaya bahasa media tertentu.

Ini memungkinkan perusahaan media untuk tetap produktif dengan sumber daya manusia yang lebih sedikit. Dalam industri yang menghadapi tekanan finansial dan persaingan sengit dari algoritma media sosial, efisiensi adalah kebutuhan.

Namun di balik efisiensi itu, muncul pertanyaan-pertanyaan kritis yang belum terjawab sepenuhnya: apakah AI sedang memperkuat jurnalisme, atau justru menggerus peran jurnalis manusia?

Secara teknis, ia mampu menulis berita dengan kecepatan dan akurasi format yang luar biasa. Tetapi ia bekerja dengan cara yang sangat berbeda dari manusia. AI tidak memiliki intuisi, tidak memahami konteks sosial, tidak bisa merasakan emosi dari narasumber, dan tidak mampu mengevaluasi makna di balik sebuah kutipan atau kejadian.

Dalam beberapa kasus, AI terbukti melakukan kesalahan fatal karena menafsirkan data secara kaku. Pada 2020, salah satu sistem otomatis menulis bahwa korban penembakan massal adalah pelaku, hanya karena kesalahan dalam metadata foto.

Di titik inilah perdebatan semakin tajam. Pendukungnya menyebut bahwa teknologi ini bukan ancaman, melainkan alat bantu. AI, menurut mereka, bisa mengambil alih tugas-tugas rutin seperti merangkum rilis berita, menulis laporan keuangan, atau menyusun kronologi kejadian. Dengan begitu, jurnalis bisa lebih fokus pada tugas inti: peliputan, investigasi, dan wawancara mendalam.

Namun kritik muncul dari berbagai kalangan, terutama pegiat etika media dan akademisi komunikasi. Mereka menilai bahwa kecepatan dan efisiensi AI tidak bisa menjadi alasan untuk mengorbankan kualitas dan integritas.

Beberapa khawatir bahwa tekanan ekonomi akan membuat banyak media lebih memilih AI karena murah dan cepat, lalu mengurangi jumlah jurnalis manusia yang berpikir kritis dan punya nilai-nilai etika. Sebab jurnalisme sejati tidak hanya menginformasikan, tetapi juga menginterpretasi dan memberi makna.

Lebih jauh lagi, muncul pertanyaan etis yang belum tersentuh regulasi di banyak negara, termasuk Indonesia. Haruskah media memberi tahu pembaca bahwa artikel ditulis oleh AI? Apakah AI boleh digunakan untuk membuat opini atau editorial? Siapa yang bertanggung jawab jika informasi yang dihasilkan AI terbukti salah atau menyesatkan? Belum ada jawaban pasti. Dan celah ini semakin melebar karena teknologi berkembang lebih cepat dari kemampuan hukum dan etika untuk mengimbanginya.

Tidak sedikit media yang kini memanfaatkannya untuk membuat konten dengan nama penulis fiktif. Dalam beberapa kasus, media menciptakan profil wartawan digital lengkap dengan avatar dan bio, padahal semua tulisan tersebut dibuat sepenuhnya oleh sistem otomatis. Ini menciptakan ilusi kredibilitas yang menyesatkan bagi publik, dan memperkuat fenomena simulakra: ketika sesuatu yang palsu terlihat lebih nyata dari kenyataan.

Persoalan juga muncul pada aspek algoritmik. Banyak kecerdasan buatan dilatih untuk mengoptimalisasi konten berdasarkan apa yang paling banyak diklik, dibagikan, atau disukai. Dalam konteks media digital yang dikejar oleh engagement, ia berpotensi mendorong penyebaran konten sensasional, bias, atau bahkan hoaks yang dibungkus dengan kemasan yang tampak sah. Ini membuat media mudah tergelincir dari misi edukatif menuju hanya sekadar produksi impresi.

Meski begitu, tak dapat disangkal bahwa ia juga membuka peluang baru bagi jurnalisme data dan liputan investigatif. Dengan bantuannya, jurnalis dapat menyaring ribuan dokumen bocoran dalam waktu singkat, mengidentifikasi pola korupsi, atau menelusuri jejak transaksi mencurigakan di antara data besar. Dalam konteks ini, AI menjadi katalis bukan pengganti—ia memperkuat kemampuan jurnalis, bukan mengambil alihnya.

Masa depan jurnalisme kini berada di persimpangan. Satu sisi menunjukkan jalan efisiensi, kecepatan, dan volume yang dikendalikan oleh mesin. Di sisi lain, masih ada jalan sunyi jurnalisme yang digerakkan oleh rasa ingin tahu, empati, dan keberanian bertanya. Keduanya bisa berjalan beriringan, tetapi dibutuhkan komitmen kuat terhadap transparansi, etika, dan kejujuran publik agar keduanya tidak saling meniadakan.

Dalam dunia di mana teknologi akan terus berkembang tanpa menunggu kesiapan manusia, mungkin bukan AI yang akan menentukan masa depan jurnalistik—melainkan sejauh mana manusia tetap mempertahankan prinsip dan integritas profesinya dalam bekerja berdampingan dengan mesin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button