Revolusi atau Ilusi? Mengurai Arah Pendidikan Indonesia
SENANDIKA.ID – Apakah revolusi pendidikan di Indonesia benar-benar terjadi, ataukah kita hanya terjebak dalam ilusi perubahan yang tak menyentuh akar masalah?
Oleh: Doni Onfire
Hampir delapan dekade Indonesia merdeka, namun wajah pendidikan kita seolah belum banyak berubah. Masih terjebak dalam pusaran masalah klasik yang tak kunjung selesai, ketimpangan akses, rendahnya mutu pengajaran, hingga korupsi anggaran yang menggerogoti harapan.
Padahal, kebijakan pendidikan semestinya lahir dari konsep yang kuat, landasan teori yang kokoh, dan perdebatan ilmiah yang tajam. Sayangnya, pelengkap kebijakan seperti pemerataan sarana-prasarana, standar gaji guru, kontrol mutu tenaga pendidik, hingga kesetaraan akses siswa, sering kali diabaikan.
Pendidikan tak hanya menjadi agen perubahan (agent of change) bagi generasi penerus, tapi juga harus berperan sebagai agen produksi (agent of producer) yang melahirkan transformasi nyata di masyarakat. Gagasan ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, yang menempatkan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai amanat utama negara.
Indra Charismiadji, pengamat pendidikan, menekankan pentingnya hal ini. Pemerintah sendiri telah mengalokasikan 20% dari APBN untuk sektor pendidikan. Pada 2014, anggarannya mencapai Rp367 triliun dan melonjak menjadi Rp665 triliun pada 2024. Namun, sebagaimana dikaji Bank Dunia sejak 2013 dalam laporan Spending More or Spending Better, peningkatan anggaran belum berbanding lurus dengan peningkatan mutu.
Data BPS 2023/2024 menunjukkan hampir separuh ruang kelas di jenjang SD berada dalam kondisi rusak. Selain itu, kesejahteraan guru honorer masih jauh dari layak; survei IDEAS menyebut 74% guru honorer menerima upah di bawah UMK. Di sisi lain, kasus korupsi pendidikan masih terjadi. ICW mencatat ada 240 kasus korupsi pendidikan dengan total kerugian negara sebesar Rp1,6 triliun.
Jepang: Dari Kehancuran Menuju Kekuatan
Mari menengok Jepang pasca-Perang Dunia II. Dua kota besar, Hiroshima dan Nagasaki, luluh lantak akibat bom atom pada Agustus 1945. Puluhan ribu nyawa melayang, dan negara itu berada di ambang kehancuran total.
Namun, dari puing-puing itu, Kaisar Hirohito justru menanyakan satu hal yang mengejutkan: “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Bagi Kaisar, kekuatan militer telah gagal. Harapan kini diletakkan pada para guru. Tercatat hanya sekitar 45.000 guru yang tersisa, dan dari tangan merekalah Jepang bangkit.
Langkah pertama adalah introspeksi menyeluruh terhadap filosofi pendidikan. Jepang merevisi total undang-undang pendidikannya. Hasilnya, hanya dalam waktu 45 tahun—bukan 50 seperti diprediksi banyak pihak—Jepang telah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia.
Kuba: Revolusi dalam Ruang Kelas
Kisah lain datang dari Kuba. Tahun 1959, Fidel Castro dan Che Guevara menggulingkan rezim Batista. Saat itu, tingkat melek huruf Kuba hanya 47%. Namun pada 1961, Kuba mencanangkan Tahun Literasi Nasional.
Guru, pelajar, mahasiswa, buruh, hingga tentara yang mampu membaca dan menulis, dikerahkan untuk mengajar masyarakat secara sukarela. Mereka disebut Alfabetizadores Briggadistas, sang laskar pemberantas buta huruf, dengan semboyan “Yo Si Puedo” – “Ya, saya bisa.”
Pemerintah menganggarkan 6,7% dari GNP untuk pendidikan dua kali lipat dari rata-rata negara Amerika Latin. Buku, seragam, hingga makanan bergizi disediakan gratis. Hasilnya luar biasa. Dalam setahun, tingkat melek huruf naik menjadi 97%. UNESCO pun memberi penghargaan atas capaian ini.
Inovasi pendidikan Kuba terus berlanjut. Tahun 1990, diterapkan sistem “Dunia Tempat Kita Hidup”, yang mendorong belajar di luar ruang kelas konvensional. Pendidikan dasar menekankan pada kebersihan, kesehatan, seni, dan nilai-nilai revolusi.
Jam belajar disusun manusiawi: dimulai dengan sarapan dan bermain, lalu belajar formal, makan siang, dan dilanjutkan dengan seni atau olahraga. Bahkan, program University for All menjangkau hingga pelosok desa, serta mengundang mahasiswa dari luar negeri gratis.
Pemerintah Kuba bahkan mengalokasikan 394 jam siaran televisi per minggu untuk program pendidikan, setara dengan 63% dari total siaran. Sebuah angka yang membuat kita merenung, ketika di Indonesia, jam belajar anak malah diisi dengan tayangan hiburan tak mendidik.
Saatnya Kita Belajar
Jepang dan Kuba membuktikan bahwa perubahan besar dalam pendidikan dimulai dari kemauan politik, keberanian berinovasi, dan penghormatan kepada guru. Mereka tidak hanya mengubah kurikulum, tapi menanamkan filosofi baru bahwa pendidikan adalah pondasi utama peradaban.
Sudah saatnya Indonesia berhenti hanya memoles kebijakan di permukaan. Kita harus berani menata ulang filosofi pendidikan nasional, menghapus praktik korupsi, memperjuangkan kesejahteraan guru, dan menjadikan anak-anak di pelosok negeri sebagai prioritas, bukan beban statistik.
Barang lama bisa punya wajah baru, jika kita benar-benar ingin berubah.




