Pamungkas di Atas Mimbar: Kisah Hidup dan Wafatnya Ustaz Yahya Waloni
SENANDIKA.ID – Di balik gaya ceramahnya yang lantang dan penuh kontroversi, Ustaz Muhammad Yahya Waloni menyimpan kisah hidup yang luar biasa.
Lahir pada 30 November 1970 di Manado, Sulawesi Utara, Yahya kecil tumbuh dalam keluarga Kristen yang taat. Ia merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara.
Ayahnya adalah seorang pensiunan militer sekaligus tokoh masyarakat yang pernah duduk di DPRD Sulawesi Utara. Lingkungan keluarganya yang kuat dalam agama Kristen menuntunnya ke dunia teologi sejak muda.
Sejak remaja, Yahya dikenal sebagai sosok pemberani, keras kepala, dan tak jarang terlibat dalam kenakalan remaja. Tubuhnya sempat bertato, sebuah hal yang pada masa itu menjadi simbol kenakalan.
Namun di balik itu semua, ia memiliki kecerdasan dan ketekunan dalam belajar. Ia menempuh pendidikan teologi hingga meraih gelar doktor dari Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado pada 10 Januari 2004.
Kariernya di dunia Kristen sempat mencuat ketika ia menjadi Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis Ebenhaezer di Sorong, Papua. Ia juga tercatat sebagai pelayan gereja di lingkungan Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) Tanah Papua.
Namun, hidup membawa Yahya Waloni pada jalan yang tak terduga. Setelah bertahun-tahun menjadi pendeta dan mengajar teologi, ia justru mengalami keraguan dalam keyakinan yang selama ini dipegangnya.
Ia mulai membaca Al-Qur’an dan mempelajari Islam secara diam-diam. Ia mengaku sempat merasa tersentuh dengan logika ketauhidan dalam Islam yang menurutnya tak pernah ia temukan dalam doktrin yang ia pelajari sebelumnya.
Proses pencarian itu membawanya pada keputusan besar: pada 11 Oktober 2006, Yahya memeluk Islam. Sejak itu, namanya berubah menjadi Muhammad Yahya Waloni.
Perjalanan spiritualnya tidak berhenti di situ. Setelah menjadi mualaf, ia mengabdikan hidupnya untuk berdakwah. Ceramah-ceramahnya, baik secara langsung maupun di media sosial, dengan cepat menyebar luas dan mengundang pro dan kontra.
Gaya bicara Yahya yang keras dan penuh keyakinan membuatnya digandrungi oleh sebagian umat, namun juga mengundang kritik tajam dari pihak lain, terutama karena beberapa pernyataannya yang dianggap menyudutkan agama lain.
Ia bahkan sempat terseret kasus hukum karena dianggap menista agama, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangatnya dalam berdakwah. Di luar kontroversi, banyak orang mengakui keteguhan hati dan keberanian Yahya dalam mengungkap kisah hijrahnya yang tidak biasa.
Ia bahkan menulis buku berjudul Islam Meruntuhkan Iman Sang Pendeta yang merekam pengalamannya dalam perjalanan menuju Islam. Buku itu menjadi salah satu bahan bacaan populer di kalangan para mualaf dan pencari kebenaran spiritual.
Pada Jumat siang, 6 Juni 2025 kemarin, Yahya Waloni mengembuskan napas terakhir dalam keadaan yang tidak biasa: saat menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Darul Falah, Minasa Upa, Makassar.
Ia sempat menyampaikan khutbah pertama dengan penuh semangat, namun saat khutbah kedua baru dimulai, tubuhnya goyah dan ia jatuh di atas mimbar.
Jamaah yang panik segera membawanya ke Rumah Sakit Bahagia Makassar, namun takdir berkata lain. Ustaz Yahya dinyatakan meninggal dunia sekitar pukul 12.30 Wita.
Kepergian Ustaz Yahya Waloni membawa duka mendalam bagi banyak jamaah dan pengikutnya. Meski dikenal sebagai sosok yang kontroversial, ia juga dikenang sebagai pendakwah yang tulus dan berani mengambil risiko demi keyakinan yang ia yakini sebagai kebenaran.
Ia pernah berkata bahwa jika harus mati, ia ingin meninggal dalam keadaan berdakwah. Dan begitulah akhirnya — ia wafat di atas mimbar, di hari Jumat yang mulia, dalam khutbah yang menjadi pamungkas hidupnya.
Jenazahnya direncanakan akan dimakamkan di Jakarta, sesuai permintaan keluarga. Kepergiannya menyisakan pertanyaan, perenungan, sekaligus pelajaran bagi banyak orang: tentang pencarian makna, keberanian untuk berubah, dan kesungguhan dalam memegang keyakinan.
Sosok Yahya Waloni, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, akan selalu menjadi bagian dari lembaran sejarah dakwah di Indonesia.




