Omon-Omon Penguasa tentang Pilkada Tidak Langsung
SENANDIKA.ID – Sejak satu minggu terakhir ini, publik dihebohkan dengan wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD atau Pilkada Tidak Langsung. Sebenarnya ini bukan barang baru, bahkan sudah didengungkan jauh-jauh hari sejak masa kepemimipinan Presiden Joko Widodo. Wacana ini kembali mencuat di ruang publik setelah Presiden Prabowo dengan gamblang mengatakannya pada saat acara HUT Golkar ke-60.
Menurut Presiden, pemilihan kepala daerah (Pilkada) saat ini, yang dilaksanakan secara langsung, menelan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, demi efisiensi maka pilkada tidak lasngung perlu menjadi pertimbangan. Tentu saja, alasan tersebut tidak sepenuhnya salah tetapi tidak juga sepenuhnya benar. Benar bahwa Pilkada Langsung menelan biaya yang cukup mahal, tapi tidak bisa dibenarkan juga bahwa hanya karena biaya kita perlu boleh seenaknya gonta-ganti sistem.
Sebenarnya, baik pilkada langsung maupun tidak langsung, sama-sama merupakan mekanisme demokratis. Perdebatan muncul karena masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, yang dalam penerapanya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu mencakup kondisi sosial, politik, kebudayaan, hingga sejarah suatu negara.
Lebih jauh, hal ini menjadi lebih menarik, selain karena di Indonesia keduanya pernah diterapkan, wacana ini diucapkan pada saat pemerintah berkecendurungan untuk melakukan konsolidasi kekuasaan besar-besaran. Hal inilah yang mengundang banyak kecurgaan banyak pihak, bahwa dibalik wacana ini ada motif politik totalitarian.
Pilkada Tidak Langsung: Sebuah Langkah Mundur
Dalam landscape sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia, baik pemilihan tidak langsung maupun pemilihan langsung, telah kita jajaki. Pilkada melalui DPRD atau melalui pemilihan tidak langsung, sudah pernah diterapkan sejak Indonesia merdeka, pada masa orde baru, hingga di awal-awal era reformasi. Nanti pada tahun 2004, disepakatilah bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pada Orde Baru, desain pelaksanaan Pilkada Tidak Langsung diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Tentang hal ini, menarik apa yang diurai oleh Hendra Budiman dalam bukunya “Pilkada Tidak Langsung dan Demokrasi Palsu”. Menurutnya, dalam undang-undang ini, relasi antara kepala daerah dan DPRD menjadi tidak seimbang, sebab DPRD hanya menjadi sekadar “tukang stempel” dari kebijakan pemerintah pusat.
Hal tersebut merupakan akibat dari sentralisasi kekuasaan. Pada saat itu, kepala daerah harus memberikan pertanggungjawaban kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri setiap tahunnya. Sedangkan ke DPRD, kepala daerah hanya memberikan laporan saja. Akibatnya, kepala daerah akan lebih mendengarkan apa kemauan Pusat daripada mendengarkan DPRD. DPRD menjadi anjing ompong. Di saat yang sama, kepala daerah dijadikan instrumen oleh pemerintah pusat untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di daerah.
Setelah Reformasi, pola tersebut dikoreksi. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, bandul kekuasaan kembali berbalik ke DPRD. Ini membuat lembaga tersebut menjadi superior dan arogan, hingga tak jarang, aktivitas kepala daerah sering diintervensi dan membuat pemerintah daerah menjadi tidak stabil. Ini terjadi karena posisi antara DPRD dan kepala daerah, lagi-lagi, tidak dalam posisi yang setara (Budiman, 2015: 18-23).
Untuk mendapatkan posisi yang setara antara dua cabang kekuasaan tersebut, maka bandul harus ditempatkan di tengah. Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disahkan, maka sistem presidensialisme diejawantahkan dengan secara utuh dan konsekuen: pelaksanaan pemilihan langsung untuk cabang kekuasaan eksekutif mulai dari pusat hingga daerah kabupaten/kota.
Dengan pola itu, maka pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif menjadi tegas, serta masing-masing dalam kedudukan yang setara untuk menjamin adanya check and balances. Desain kelembagaan tersebut dibuat untuk mencegah potensi terjadinya monopoli satu lembaga terhadap yang lainnya, serta untuk mencegah agar kekuasaan tidak tersentralisasi dan menjadi otoriter.
Perlu ditegaskan, pemberlakuan Pilkada langsung merupakan koreksi terhadap sistem terdahulu, yang hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai intrumen untuk mengkonsolidasi kekuasaan dan cenderung memperkecil kanal aspirasi masyarakat di daerah. Oleh karena itu, mengembalikan Pilkada melalui DPRD adalah sebuah langkah mundur!
Mempertanyakan Urgensi Pilkada Tidak Langsung
Kita perlu membedah pernyataan Presiden Prabowo perihal pentingnya mempertimbangkan Pilkada Tidak Langsung dengan alasan biaya yang mahal. Ini, tentu saja, tidak sepenuhnya salah. Masalahnya, ucapan presiden itu cenderung menyederhanakan persoalan. Padahal Pilkada tidak hanya bicara soal efisensi anggaran negara atau daerah, lebih dari itu, ia berbicara tentang bagaimana rakyat menggunakan hak konstitusionalnya untuk turut andil dalam setiap agenda pemerintahan.
Tentu saja, presiden dalam mewacanakan ini akan dibantu oleh “teman-teman” koalisinya, terutama untuk mencari daftar alasan lain selain persoalan mahalnya biaya. Misalnya, politik uang yang masif; banyaknya korban jiwa penyelenggara; rentan konflik antara warga; korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); hingga praktek kecurangan. Hanya saja, sebagian dari masalah ini merupakan persoalan elementer. Maksudnya, masih bisa diatasi oleh negara bila dikerjakan serius, semisal berkaitan dengan kemananan, keselamatan, serta manajemen dan tata kelola.
Adapun persoalan akut bangsa ini, seperti KKN dan politik uang, tidak bisa dijamin teratasi dengan Pilkada Tidak Langsung. Kalau pemilihan hanya terbatas di ruang legislasi melalui DPRD, praktik KKN dan politik uang tetap akan ada. Hanya saja, skopnya lebih kecil.
Di sini harus diperhatikan bahwa, meskipun skopnya lebih kecil, bukan berarti dampak negatifnya akan kecil. Entah melalui pemilihan langsung maupun tidak, bila prosesnya kotor maka hasilnya akan sama-sama kotor, artinya baik figur maupun kebijakannya pasti jadi barang kotor. Jadi, tetap sama saja, karena inti masalahnya bukan pada luasan skopnya tapi pada proses politiknya.
Masalahnya, Pemilihan Tidak Langsung tidak punya desain kelembagaan yang efektif untuk mencegah praktik kotor para politisi. Alih-alih mempersulit, justru Pilkada Tidak Langsung akan memudahkan penguasa untuk mengkonsolidasikan kekuasaan melalui partai politik. Itu artinya proses pemilihan pemimpin ditentukan oleh tukar tambah elit partai, sedang rakyat tinggal tunggu hasil alias jadi penonton di luar pagar.
Itu artinya, yang dimaksud “mahal” oleh Presiden adalah karena dalam Pilkada Langsung, mereka harus keluar uang yang luar biasa banyaknya untuk bisa bertarung, itupun kalau menang, sebab perlu memobilisasi ratusan bahkan jutaan orang. Sedang dalam Pilkada Tidak Langsung, cukup hubungi elit partai yang punya kursi di DPRD, bayar (atau ancam), dan hasilnya mudah diprediksi. Inilah yg dimaksud penguasa sebagai “murah dan efisien”.
Berdasarkan penjelasan itu, maka Pilkada Langsung yang diklaim mahal bukanlah alasan yang relevan. Sebab hal itu sudah menjadi konsekuensi logis dari pilihan kolektif untuk menerapkan sistem presidensialisme secara konsekuen. Lagi pula, alasan utama dipilihnya Pilkada Langsung bukan dilatari oleh masalah anggaran, tetapi bagaimana mencegah pemerintah menjadi sentralistik dan totaliter. Artinya, wacana pilkada selalu identik dengan ide menjaga demokrasi dari kesewenang-wenangan kekuasaan, itu prinsipil. Sedangkan soal anggaran, itu teknis. Bisa diatur.
Meskipun begitu, pemerintah sepertinya begitu percaya diri dan benar-benar ingin menggenjot ide ini, walaupun tidak punya urgensitasnya. Pada saat yang sama, ada begitu banyak persoalan mendasar yang perlu ditangani: KKN yang masih tinggi, Kenaikan Harga Bahan Pokok, masalah lingkungan, masalah HAM di Papua, kemiskinan dan masih banyak lagi. Harusnya masalah itu yang menjadi fokus pemerintah.
Dalam ketidakjelasan alasan pemerintah tersebut, kita patut menduga jangan sampai ada motif terselubung untuk kembali menjadikan kepala daerah sebagai instrumen untuk mengkonsolidasikan kekuasaan pemerintah, sebagaimana yang dilakukan oleh Soeharto di era Orde Baru. Di saat yg sama, keterlibatan publik dipangkas, sehingga tidak punya andil lagi dalam proses politik di daerah. Akhirnya, jelas sudah, yg akan menentukan konstelasi politik di daerah adalah partai politik, bukan rakyat. Soalnya, tak ada yg bisa diharapkan dari partai hari-hari ini, mereka tidak berpihak pada kita tetapi pada uang dan kekuasaan.
Penulis: Gugun Pohontu




