SENANDIKA.ID – “Jika kita tidak memahami bagaimana algoritma bekerja, maka kita akan menjadi produk dari sistem yang tidak kita kuasai.” Prof. Merlyna Lim.
Modernisasi yang Terencana, Konsumsi yang Dimaklumi
Secara historis, modernisasi merupakan proses perubahan sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara sejak abad ke-17 hingga abad ke-19. Menurut sosiolog Soerjono Soekanto, modernisasi adalah bentuk perubahan sosial yang terarah (directed change) dan didasarkan pada suatu perencanaan (social planning).
Perubahan ini membawa masyarakat dari struktur agraris menuju masyarakat industri. Tenaga produksi tradisional digantikan oleh teknologi modern. Salah satu ciri dari modernitas, sebagaimana dikatakan oleh Walt Whitman Rostow dalam teori pembangunannya, adalah tercapainya konsumsi massal dalam skala tinggi. Dalam teori itu pula, terlihat bahwa masyarakat justru diarahkan untuk menjadi konsumtif demi menunjang pertumbuhan ekonomi.
Artinya, puncak dari modernisasi bukan hanya soal kemajuan teknologi, melainkan juga keberhasilan kapitalisme menciptakan pasar yang terus lapar.
Saat Keseharian Kita Tak Lagi Milik Kita
Henri Lefebvre, filsuf dan sosiolog Perancis, dalam Everyday Life in the Modern World (1971), menyebut bahwa kehidupan sehari-hari bukan sekadar rutinitas pribadi. Ia adalah ruang di mana kapitalisme beroperasi, menjelma menjadi pola hidup yang tampak alami, padahal terstruktur.
Rutinitas harian kita bangun pagi, bekerja, berbelanja, bersosialisasi, hingga tidur bukan hanya urusan pribadi. Ia bagian dari mekanisme besar yang diatur oleh sistem. Kita bekerja untuk mendapatkan uang, lalu membelanjakan uang itu untuk produk yang diiklankan oleh kapitalisme. Dalam siklus ini, pilihan kita tampak bebas, padahal diarahkan oleh desain struktural yang tersembunyi.
Kapitalisme menyusup dari hal paling sepele semangkuk sereal pagi hari, misalnya. Kita tak hanya menikmati rasa, tapi juga menyerap status dan simbol sosial dari mereknya. Pulang kerja, kita berharap bisa beristirahat, tapi waktu luang pun telah dipenuhi oleh hiburan-hiburan yang diproduksi sistem yang sama: serial televisi, konten algoritmik, belanja daring.
Bahkan menjelang tidur, kita sering kali masih dikejar kecemasan: pekerjaan yang belum rampung, tagihan yang menumpuk, standar hidup yang harus dikejar. Tidur pun tak lagi bebas dari kapitalisme ia menyelinap dalam mimpi-mimpi dan kekhawatiran kita.
Kapitalisme yang Tak Lagi Kasat Mata
Di era digital, kapitalisme tak lagi hadir dalam rupa pabrik atau mesin uap. Ia menjelma menjadi sistem algoritmik yang halus dan senyap. Media sosial menjadi saluran utama kapitalisme jenis baru: yang tidak hanya menjual barang, tapi juga menjual perhatian, emosi, bahkan jati diri.
Kita merasa sedang mengekspresikan diri di Instagram, Facebook, atau TikTok. Tapi sesungguhnya, algoritma-lah yang mengarahkan apa yang kita lihat, apa yang kita sukai, bahkan bagaimana kita merasa.
Prof. Merlyna Lim, pakar media sosial dan politik digital dari Universitas Carleton Kanada, menyebut ini sebagai jebakan kapitalisme algoritmik. Dalam kuliah umumnya di Universitas Diponegoro (7 Mei 2025), ia menjelaskan bahwa algoritma bekerja senyap, menciptakan ilusi kebebasan, padahal sesungguhnya mengendalikan narasi publik dan membentuk enklave algoritmik ruang informasi tertutup yang hanya memperkuat pandangan kita sendiri.
Alih-alih memperluas dialog, media sosial justru membuat kita semakin terpolarisasi. Kita terjebak dalam gelembung-gelembung opini yang sama, menjauh dari keragaman pandangan dan kemampuan untuk berdialog lintas perbedaan.
Waspada, Bukan Anti
Hari ini, kapitalisme tak lagi menampakkan wajah keras dan otoriternya. Ia menjadi ramah, personal, dan hadir dalam bentuk yang menyenangkan. Ia muncul saat kita bosan, dengan notifikasi video yang “kebetulan” sesuai suasana hati. Ia menyelinap lewat diskon kilat dari produk yang tadi baru kita cari. Kapitalisme kini menjual pengalaman, perasaan, bahkan narasi dikemas dalam wajah baik, peduli, dan empatik.
Tentu, kritik terhadap sistem ini bukan berarti kita harus anti teknologi. Justru sebaliknya. Kita perlu memahami cara kerja sistem ini, agar tidak dikendalikan olehnya. Seperti dikatakan Prof. Merlyna Lim, jika kita tidak mengerti cara kerja algoritma, maka kita sendiri akan menjadi produk dari sistem yang tak kita kuasai.
Kesadaran kritis ini bukan tentang menjadi anti-modern, tapi tentang tetap menjadi manusia merdeka yang mampu memilah, menyadari, dan mempertanyakan. Agar keseharian kita tidak sepenuhnya dijual. Agar kita tetap punya ruang untuk merasa, berpikir, dan memilih dengan sadar.




