SENANDIKA.ID – Apakah emansipasi perempuan hari ini masih sejalan dengan gagasan Kartini tentang pendidikan?
Oleh: Doni Onfire
Wanita, dengan pesonanya, mampu mengubah peradaban. Ia adalah tiang negara jika wanitanya baik, maka baiklah negara itu; jika rusak, maka rusak pula peradabannya. “Al-Ummu madrasatul ulaa” ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Di tangannya, pendidikan pertama dimulai, dan dari wanita pula pengaruh besar bagi kehidupan manusia ditanamkan.
Menjadi wanita adalah anugerah yang luar biasa. Lembut namun tangguh, penuh kasih dan cinta. Dalam setiap fase kehidupan, wanita selalu membawa makna: sebagai anak, ia menyenangkan; sebagai saudara, ia menentramkan; sebagai istri, ia menginspirasi; sebagai ibu, ia pendidik utama; dan sebagai sahabat, ia adalah pendengar yang setia dan penasehat yang tulus.
Namun di tengah perubahan zaman, semangat emansipasi sering kali ditafsirkan berlebihan. Banyak perempuan hari ini memperjuangkan hak-haknya dengan sangat kuat itu hal baik. Tetapi terkadang, fokus besar pada karier dan kemandirian finansial menggeser prioritas lain yang juga tak kalah penting: peran dalam keluarga. Sistem kerja yang menuntut hingga belasan jam sehari, menitipkan anak ke jasa penitipan, semuanya demi kata “mandiri”. Tapi, benarkah itu makna kebebasan yang sesungguhnya?
Kartini pernah berkata, pendidikan adalah hak perempuan bukan untuk menyaingi laki-laki, tapi agar perempuan lebih mampu menjalankan peran pentingnya sebagai ibu dan pendidik generasi masa depan. Dalam bukunya yang terkenal Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht), Kartini tidak menuntut kesetaraan dalam hal kekuasaan atau karier, tetapi menuntut hak untuk belajar, berpikir, dan memahami dunia agar bisa mendidik dengan bijak.
Dalam suratnya kepada Prof. Anton dan istri, 4 Oktober 1902, Kartini menulis:
“Kami memohon pendidikan untuk anak-anak perempuan, bukan karena kami ingin mereka menjadi saingan laki-laki dalam hidup, tetapi karena kami yakin betapa besar pengaruh pendidikan itu bagi kaum wanita, agar mereka lebih mampu menjalankan kewajiban mereka: menjadi ibu, pendidik manusia pertama.”
Kartini bahkan mengkritik keras peradaban Barat yang dikagumi banyak orang. Dalam surat kepada Abendanon, ia menulis:
“Sudah lewat masamu. Tadinya kami kira masyarakat Eropa itu sempurna. Maafkan kami. Apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik segala sesuatu yang tampak indah di sana, terdapat banyak hal yang tak patut disebut peradaban?”
Melalui surat-suratnya, kita tahu: Kartini ingin mengubah kondisi perempuan agar bisa belajar, berpikir, dan berdaya bukan agar meninggalkan fitrah atau menyaingi laki-laki dalam segala hal. Ia tidak sedang memperjuangkan ide feminisme Barat, tapi memperjuangkan agar perempuan dihormati lewat ilmu, bukan hanya lewat mimpi kebebasan.
Jika Kartini masih hidup hari ini, mungkin ia akan mengajak perempuan untuk kembali merenungi arti “Aku mau!” semboyan yang selalu ia pegang:
“Tahukah engkau semboyanku? Aku mau!
Dua patah kata yang ringkas itu telah membawa aku melintasi gunung-gunung keberatan dan kesusahan.
Kalimat ‘aku tidak dapat’ melenyapkan keberanian.
Kalimat ‘aku mau’ membuat kita berani mendaki puncak gunung.”





” Aku Mau ” …👍