SENANDIKA.ID – Hari ini, Jumat, 6 Juni 2025, umat Muslim di seluruh dunia merayakan Idul Adha 1446 Hijriah. Sebuah hari besar yang mengingatkan kita pada pengorbanan Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail kisah spiritual yang melampaui zaman dan terus relevan dalam berbagai konteks kehidupan. Tapi tahun ini, perayaan Idul Adha hadir dalam lanskap yang berbeda: dunia sedang berubah, dan tantangan global kini terasa nyata di halaman rumah kita sendiri.
Idul Adha di Tengah Krisis Iklim dan Inflasi
Krisis iklim bukan lagi isu global yang jauh di awan, tapi realitas yang memengaruhi kehidupan sehari-hari dari cuaca ekstrem yang mengganggu distribusi pangan, hingga ketersediaan air bersih untuk prosesi ibadah kurban. Tak hanya itu, inflasi yang terus naik membuat harga hewan kurban melambung tinggi, menempatkan banyak keluarga pada dilema: memilih antara kebutuhan sehari-hari atau tetap berkurban meski dengan anggaran terbatas.
Namun semangat berkurban tak surut. Di berbagai kampung dan kota, kita melihat wajah-wajah penuh harap dan syukur saat takbir menggema di udara. Dari padang pasir Arafah hingga gang-gang sempit pemukiman, nilai-nilai ketulusan dan solidaritas tetap hidup.
Kurban Ramah Lingkungan: Dari Kemasan hingga Distribusi Digital
Perubahan zaman mendorong cara baru dalam pelaksanaan kurban. Tahun ini, banyak komunitas mulai menerapkan prinsip ramah lingkungan: mengganti kantong plastik dengan daun pisang, besek bambu, atau wadah daur ulang. Inisiatif ini tak hanya mengurangi limbah, tetapi juga menghidupkan kembali kearifan lokal.
Distribusi daging pun makin canggih. Beberapa lembaga sosial dan masjid bekerja sama dengan platform digital untuk mendata penerima kurban secara lebih adil dan efisien, bahkan menggunakan aplikasi kurban online yang memudahkan pelaporan, pelacakan, hingga distribusi langsung ke rumah-rumah warga tanpa antre panjang.
Kurban Kolektif: Solidaritas dalam Kesederhanaan
Di tengah tekanan ekonomi, muncul gerakan kurban kolektif di mana lima hingga tujuh orang bergotong-royong membeli seekor sapi atau kambing. Ini bukan sekadar strategi finansial, tetapi juga wujud kekompakan sosial. Di banyak daerah, semangat gotong-royong terasa kental: yang tidak mampu berkurban tetap diberi ruang untuk membantu proses penyembelihan, memasak, atau mendistribusikan daging.
Di sebuah kampung di Gorontalo, seorang ibu rumah tangga mengatakan, “Tahun ini saya tak bisa beli hewan kurban. Tapi saya ikut bantu membungkus dan mengantar daging ke tetangga. Rasanya tetap ikut bahagia.” Cerita seperti ini menunjukkan bahwa nilai utama Idul Adha bukanlah pada jumlah daging yang dikurbankan, tapi pada ketulusan memberi dan keikhlasan berbagi.
Penutup: Kembali ke Makna, Kembali ke Hati
Idul Adha 1446 H hadir dengan wajah baru. Tantangan iklim, tekanan ekonomi, dan dinamika sosial telah menguji bagaimana kita memahami dan menjalani hari raya ini. Namun justru di sanalah maknanya: bahwa kurban bukan soal berapa banyak yang bisa kita sembelih, tapi seberapa jauh kita bersedia melepaskan ego, berbagi rezeki, dan merawat bumi serta sesama.
Dari Padang Arafah yang sakral hingga kampung halaman yang sederhana, gema takbir hari ini menyatukan kita dalam harapan dan pengorbanan. Di era perubahan, semoga kita tetap menjadi manusia yang setia pada nilai dalam ritual, dalam sosial, dalam ekologi.




