FeatureOpini

Surat untuk Tuan Harari: Masa Depan Siapa yang Anda Bicarakan?

Penulis: Hardiansyah Pakaya, Mahasiswa Magister Prodi Interdiciplinary Islamic Studies

SENANDIKA.ID – Apakah masa depan yang digembar-gemborkan sebagai kemajuan benar-benar milik semua manusia? Atau hanya proyek eksklusif segelintir pihak yang punya kuasa?

Baru-baru ini, saya membaca huru-hara tentang ketimpangan etik dalam menanggapi tayangan berdarah konflik di Timur Tengah. Dari akumulasi postingan yang berseliweran, sebagian orang berpegang pada alasan “balas dendam” atas ulah Israel di sejumlah kawasan, sementara sebagian lainnya berdiri pada puncak kesadaran: “atas nama kemanusiaan, segala bentuk kekerasan adalah kebiadaban.”

Saya yakin, semua perbedaan ini lahir atas nama perdamaian. Namun, setiap pihak memiliki kecenderungan dan dasar pemahamannya masing-masing. Karena itu, saya merasa hanya seorang pemikir besar yang bisa menyingkap atau justru mengaburkan perbedaan-perbedaan ini. Maka, dengan menyebut nama Tuhan yang maha kontemporer, saya menulis surat ini kepada Tuan Harari.

Yuval Noah Harari bukan sekadar sejarawan. Dunia mengenalnya sebagai filsuf spekulatif tentang masa depan. Lewat tulisan-tulisannya Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for the 21st Century. Harari memetakan narasi besar perjalanan manusia: dari makhluk purba menjadi entitas “post-human” yang digerakkan algoritma dan kecerdasan buatan. Ia menghadirkan optimisme teknologis dari keberhasilan manusia menaklukkan kelaparan, penyakit, dan perang besar. Namun di balik itu semua, Harari juga mengingatkan tentang kelemahan paling dasar umat manusia: “ketika kemampuan meningkat, nilai-nilai justru mendangkal.”

Namun, catatan Harari menjadi terasa buram saat dibenturkan dengan kenyataan konflik Timur Tengah, kawasan yang terus menjadi panggung teater kekerasan politik. Di sana, penderitaan manusia bukan hanya berulang, tetapi juga terinstitusionalisasi dalam sistem representasi global yang banal. Sementara itu, Harari bercerita tentang umat manusia yang “beralih peran” dari korban kekuatan alam menjadi penguasa takdir sendiri.

Fakta ini menunjukkan bahwa penderitaan tetap terus diproduksi manusia terhadap sesamanya. Penderitaan tidak lagi dipandang sebagai kecelakaan sejarah, melainkan sebatas latar naratif dari kalkulasi dingin politik dan bisnis senjata.

Kata Harari, “manusia menyadari kemampuannya membangun strategi peradaban dari teknologi.” Namun, pada saat yang sama, ia hampir tak menawarkan strategi etik untuk merespons realitas kekerasan yang baru dan politis. Alih-alih membicarakan keabadian dan kebahagiaan masa depan, Harari tidak menelusuri secara memadai bagaimana distribusi keabadian dan kebahagiaan itu bersifat eksklusif. Siapa sebenarnya yang dimaksud Harari sebagai manusia yang mampu mengakses teknologi rekayasa genetika? Siapa yang bisa membeli algoritma untuk memprediksi penyakit atau mengoptimalkan keputusan hidup? Dalam kerumitan ini, masyarakat yang hancur karena perang di Gaza, Sudan, Israel, atau Sanaa barangkali tidak termasuk dalam peta masa depan Harari. Lebih kejam dari itu, mereka bukan hanya sebagai subjek, tetapi juga objek penderitaan yang ditendang dari narasi kemajuan yang ia agungkan.

Inilah kebingungan saya membaca kelalaian wacana Harari: ia berbicara tentang masa depan sebagai horizon universal, padahal ia enggan berkata bahwa “masa depan adalah proyek eksklusif yang didesain oleh minoritas global.” Ketika penderitaan terus berlangsung dan bahkan dinormalisasi, Homo Deus lama-kelamaan terdengar seperti omong kosong yang absurd dan tak bermoral.

Mengingat penderitaan di Timur Tengah sebagai banalitas, tidak cukup jika hanya menyebutnya sebagai kelelahan empati atau saturasi informasi. Kita harus sadar bahwa banalitas adalah produk dari operasi ideologis yang sistematis: bagaimana dunia memproduksi jarak moral, membekukan emosi publik, dan mereduksi tragedi menjadi statistik atau sekadar bumbu visual.

Sejak lama, Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem mengulang-ulang istilah “banality of evil” kekejaman yang lahir bukan dari kebencian ideologis, melainkan dari rutinitas birokratis dan kepatuhan terhadap sistem, hingga hilangnya refleksi moral. Penderitaan di Timur Tengah hari ini, saya duga, bergerak ke arah serupa. Informasi mengerikan itu menjadi banal bukan karena kurangnya penderitaan, tetapi karena terlalu sering hadir dalam bentuk yang mudah diakses: video anak kecil menangis, tayangan reruntuhan bangunan, jeritan ibu kehilangan anak semua mengalir dalam arus media yang hanya memaparkan angka tanpa pesan yang memadai.

Kalau sudah begitu, penderitaan di sana bukan hanya hasil dari peluru atau bom, tetapi juga dari representasi: dunia menonton, tetapi tidak benar-benar melihat. Dunia membaca, tetapi tidak memahami. Dunia mengetahui, tetapi tidak merasa apa-apa. Di situlah ambang kritisnya: teknologi yang dipuja Harari sebagai kekuatan transformatif justru mempermudah normalisasi penderitaan. Empati yang seharusnya tumbuh, seperti kata Arendt, malah dirusak oleh overexposure.

Di sini saya ingin berbeda dengan Harari: jika Tuan menggambarkan masa depan sebagai kemungkinan manusia menjadi “seperti Tuhan,” realitas konflik Timur Tengah justru menunjukkan bahwa manusia telah menjadi seperti iblis menghancurkan dengan akurat, mengendalikan kehidupan dengan algoritma kematian, dan meringkus rasa bersalah dengan narasi keamanan dan legitimasi. Distopia Tuan Harari bukan kemungkinan masa depan; ia sudah menjadi kenyataan hari ini. Hanya saja, mungkin Tuan terlalu sibuk berhitung hingga tak berani menamainya demikian.

Masa depan yang Tuan maksud: untuk siapa? Dan untuk apa?

Paradoks pemikiran Harari membuka ruang untuk melihat bahwa masa depan tidak pernah benar-benar netral. Ia adalah proyek yang dibentuk oleh segelintir orang yang punya hak bicara, sekaligus bayangan buram dari kelompok yang tak diizinkan bersuara. Maka, narasi besar tentang Homo Deus mungkin benar: manusia bisa menaklukkan penyakit, kelaparan, dan perang. Tapi pada akhirnya, proyek itu runtuh, karena tidak semua manusia dianggap layak mendapatkannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button