Sholat Idul Adha di Wonosobo dan Wajah Fomo Spirituality
Penulis: Arafat Noor Abdillah, Mahasiswa Doktoral Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
SENANDIKA.ID – Masihkah ibadah menjadi ruang pertemuan dengan Tuhan, atau telah bergeser menjadi ruang eksistensi sosial di dunia maya?
Pengalaman keagamaan dewasa ini mengalami transformasi dari yang semula bersifat privat menjadi konsumsi publik. Salah satu penyebab utamanya adalah gejala Fear of Missing Out (FOMO), yaitu ketakutan merasa tertinggal dari momen penting karena tidak hadir secara langsung. Pada mulanya, istilah ini populer di ranah gaya hidup digital. Namun kini, ia merambah ke ruang spiritualitas – mendorong orang untuk hadir dalam praktik keagamaan bukan semata karena iman, melainkan demi eksistensi sosial. Fenomena ini oleh Heidi A. Campbell disebut sebagai performative faith. Iman yang tampil demi penonton, bukan demi Tuhan.

Salah satu contoh aktual dari FOMO spirituality tampak pada pelaksanaan shalat Idul Adha di lapangan Garung, Wonosobo, Jawa Tengah. Di lokasi ini, shalat Idul Adha menjadi bukan sekadar ibadah tahunan, melainkan perayaan visual. Pemandangan Gunung Sindoro dan Sumbing menjadi latar yang sempurna untuk bahan postingan di media sosial. Aktivitas dokumentasi massal ini menjadikan ibadah sebagai tontonan publik, seperti yang digambarkan oleh Guy Debord dalam The Society of the Spectacle yaitu masyarakat modern cenderung mengubah hubungan sosial menjadi representasi visual.
Kehadiran influencer, drone, dan media nasional di Garung memperkuat posisi ibadah sebagai atraksi digital. Bahkan, pelaksanaan shalat di sana telah dimanfaatkan sebagai strategi branding pariwisata religius. Dampaknya terasa pada sektor ekonomi lokal penginapan, kafe, dan UMKM yang ramai dikunjungi. Namun di sisi lain, ritual agama berubah menjadi komoditas saat nilai-nilainya dikemas untuk kepentingan pasar dan media.
Banyak dari para jamaah adalah generasi muda urban yang datang karena merasa “perlu hadir” agar tidak tertinggal dari tren keagamaan. Shalat berjamaah menjadi bagian dari pengalaman kolektif yang estetis dan komunikatif bercampur antara ibadah dan rekreasi. Bahkan sebagian pengunjung datang sejak malam hari dan mendirikan tenda untuk bisa mendapatkan posisi terbaik saat shalat. Tak jarang pula ditemukan jamaah yang justru shalat di depan imam, mengambil gambar saat khotbah berlangsung, serta menyebabkan kerusakan di lahan pertanian warga.
Fenomena ini menggambarkan pergeseran makna, dari ibadah sebagai ruang kontemplatif menuju ruang ekspresi diri dan eksistensi sosial. Inilah wajah FOMO spirituality praktik keagamaan yang terjebak dalam tekanan untuk hadir dan berbagi, alih-alih mengalami secara utuh makna spiritualitas itu sendiri.
Menariknya, fenomena ini juga memperlihatkan hibriditas antara tradisi dan modernitas. Di tengah arus digital, ekspresi keagamaan menjadi lebih cair, personal, dan kompetitif. Sebagian besar umat Muslim kini berbagi momen Idul Adha di media sosial, dari foto bersama keluarga, potret hewan kurban, hingga swafoto usai shalat. Seperti yang dijelaskan Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity, masyarakat kini hidup dalam ketidakajegan makna segala sesuatu menjadi lebih fleksibel, termasuk agama.
Tulisan ini menegaskan bahwa fenomena FOMO Spirituality menunjukkan paradoks modernitas. Di satu sisi membuka ruang kreatif dalam mengekspresikan iman, tetapi di sisi lain memicu “flattening of differences” ketika terjadi komodifikasi agama sebagai konten instan. Sekiranya kebutuhan untuk merebut kembali dimensi kontemplatif agar pengalaman keagamaan tidak sekadar menjadi komoditas visual, melainkan tetap berakar pada refleksi etis dan keterlibatan sosial yang bermakna. Oleh karena itu, perlu pertanyaan kritis reflektif, “Masihkah Tuhan menjadi tujuan utama? Atau hanya sekadar latar panggung narasi digital?”.




