Nasional

Dulu Hampir Gagal Lahir! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Pancasila

SENANDIKA.IDPancasila adalah dasar negara Indonesia, yang selama ini kita anggap sebagai fondasi kokoh dan final. Lima sila yang kita hafal sejak sekolah dasar seolah tak terbantahkan, ditulis rapi dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan dijunjung tinggi sebagai ideologi negara. Namun di balik tatanan yang tampak rapi itu, ternyata tersimpan sejarah yang penuh dinamika dan ketegangan.

Pancasila, yang kini menjadi simbol persatuan bangsa, dulunya nyaris gagal dilahirkan. Bahkan proses kelahirannya dipenuhi perdebatan tajam, tarik menarik ideologis, dan kompromi yang tidak mudah. Banyak orang tidak tahu bahwa sebelum 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepakat tentang dasar negara seperti apa yang akan digunakan.

Gagasan dasar negara baru benar-benar mencuat saat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang. BPUPKI mulai bersidang pada Mei 1945, dan dalam sidang itulah, pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya yang kelak dikenang sebagai tonggak lahirnya Pancasila.

Dalam pidatonya, Soekarno menawarkan lima prinsip dasar negara, yang ia beri nama Panca Sila. Lima sila yang ia maksud adalah kebangsaan, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.

Soekarno menegaskan bahwa dasar negara ini tidak ia ciptakan, melainkan ia gali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri yang sudah hidup sejak lama. Pidato ini menjadi sangat penting karena untuk pertama kalinya muncul gagasan tentang dasar filosofis Indonesia merdeka. Sambutan terhadap pidato itu luar biasa, namun pekerjaan besar masih menanti.

Setelah pidato 1 Juni, dibentuklah Panitia Sembilan, sebuah tim kecil yang terdiri dari tokoh-tokoh dari berbagai kelompok dan latar belakang. Tugas mereka adalah merumuskan secara lebih konkrit dasar negara yang akan digunakan Indonesia setelah merdeka.

Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menyusun sebuah dokumen penting bernama Piagam Jakarta. Dalam Piagam ini, lima sila dirumuskan dengan redaksi berbeda dari versi pidato Soekarno. Sila pertama ditulis sebagai “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Redaksi sila pertama inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi. Kalimat itu membuat sejumlah tokoh dari Indonesia Timur dan kelompok non-Muslim merasa keberatan. Mereka khawatir bahwa dasar negara seperti itu akan menciptakan diskriminasi dan menimbulkan perpecahan. Perdebatan ini berlangsung hingga menjelang kemerdekaan.

Akhirnya, pada 18 Agustus 1945, satu hari setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk Pembukaan UUD yang memuat Pancasila dengan redaksi akhir. Kalimat kontroversial pada sila pertama diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Perubahan ini merupakan hasil kompromi penting yang menyelamatkan persatuan Indonesia. Keputusan untuk mengubah redaksi sila pertama bukan hal mudah. Tetapi demi menjaga keutuhan bangsa, para pendiri negara menomorsatukan persatuan di atas ego kelompok. Tanpa kompromi itu, mungkin sejarah Indonesia akan sangat berbeda.

Penting untuk dipahami bahwa proses kelahiran Pancasila tidak berhenti pada tanggal 1 Juni. Tanggal itu adalah tonggak awal gagasan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi realisasi dan penyempurnaannya berlangsung dalam proses panjang dan berliku. Bahkan selama Orde Baru, narasi tentang 1 Juni nyaris tidak dibicarakan secara luas.

Fokus saat itu lebih banyak pada penataran P4 dan penguatan ideologi negara secara top-down. Baru pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016. Sejak itu, setiap 1 Juni kita memperingatinya sebagai hari penting nasional, bukan hari libur biasa, melainkan momen refleksi terhadap nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Fakta bahwa Pancasila lahir dari perdebatan, perbedaan, dan kompromi menunjukkan bahwa ideologi ini tidak kaku. Ia hidup, lahir dari kebutuhan nyata rakyat Indonesia untuk bersatu di tengah keberagaman yang luar biasa. Memahami proses kelahirannya membuat kita bisa lebih menghargai keberadaannya.

Ia bukan sekadar hafalan lima sila, melainkan hasil dari keputusan historis yang luar biasa penting. Generasi hari ini perlu menyadari bahwa tanpa kompromi dan semangat gotong royong dari para pendiri bangsa, mungkin Indonesia tidak akan pernah berdiri sebagai negara yang majemuk dan merdeka.

Pancasila adalah bukti bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekuatan jika dikelola dengan bijak dan hati yang besar. Dan kisah kelahirannya mengingatkan kita, bahwa yang tampak kokoh hari ini, dulunya bisa saja runtuh—kalau bukan karena tekad para pendahulu kita yang bersedia melepas ego demi persatuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button