Opini

Rinjani Bukan Tempat Bermain: Belajar dari Kematian Juliana Marins

Oleh: Setiawan Adi Setyo

SENANDIKA.ID – Gunung Rinjani kembali menelan korban. Namanya Juliana Marins, 26 tahun, perempuan muda asal Brasil yang sedang mengejar mimpinya menjelajah salah satu keajaiban alam Nusantara. Ia ditemukan tewas di dasar jurang kurang lebih sedalam 600 meter, di jalur pendakian Cemara Nunggal, yang oleh sebagian pendaki dijuluki “jalur neraka.” Bagi sebagian orang, berita ini hanya akan menjadi potongan informasi yang berlalu di lini masa. Namun bagi banyak lainnya—terutama bagi mereka yang mencintai gunung, mengenal medan, atau sekadar peduli pada keselamatan manusia—kematian Juliana adalah tamparan keras.

Rinjani Bukan Taman Bermain

Pendakian bukan agenda pelesir yang bisa dijalani semudah menjajal wahana rekreasi. Namun narasi yang berkembang, baik di media sosial maupun dalam industri pariwisata, telah mengaburkan batas ini. Gambar-gambar indah dan video estetik yang beredar di Instagram dan TikTok menampilkan Rinjani sebagai tempat romantis: sunrise di puncak, kabut yang menyelimuti Danau Segara Anak, tenda warna-warni yang berdiri di bibir kaldera. Semua tampak mudah, ringan, bahkan menyenangkan.

Tapi siapa yang memberi tahu tentang medan menanjak penuh pasir di jalur Plawangan? Tentang dingin menggigit yang menusuk tulang pada malam hari? Tentang angin tajam yang siap menerbangkan tenda dan mengacaukan keseimbangan? Atau tentang bahaya nyata di jalur-jalur curam seperti Cemara Nunggal, tempat di mana satu kesalahan kecil berarti terjun ke jurang tanpa kesempatan kedua?

Juliana bukan satu-satunya. Dalam waktu tiga bulan terakhir, setidaknya empat pendaki meninggal dunia di Rinjani. Sebelumnya, ada pendaki asal Malaysia dan dua dari Indonesia yang juga kehilangan nyawa karena terjatuh. Angka ini lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa sistem keselamatan kita belum cukup kuat. Bahwa pendakian ke Rinjani, yang tingginya nyaris menyentuh 4.000 meter di atas permukaan laut, tidak bisa terus dibuka hanya demi angka kunjungan atau grafik ekonomi.

Sudah waktunya kita bertanya dengan jujur: apakah semua yang mendaki benar-benar siap? Apakah mereka memahami apa yang mereka hadapi? Apakah operator wisata menjalankan tanggung jawab secara penuh? Apakah pemerintah, lewat otoritas taman nasional, benar-benar mengutamakan keselamatan daripada promosi?

Kita hidup di era di mana gunung-gunung diposisikan sebagai “konten.” Mereka dijadikan latar estetis demi validasi digital. Tapi gunung tidak pernah menjanjikan hiburan. Gunung menuntut hormat, disiplin, dan kerendahan hati. Alam tidak bisa diperlakukan sebagai objek rekreasi tanpa risiko. Kita harus kembali memahami bahwa mendaki adalah proses menghadapi batas diri, bukan sekadar gaya hidup.

Tragedi Juliana Marins seharusnya menjadi batas. Cukup sudah nyawa-nyawa melayang karena kita abai. Cukup sudah menjual keindahan tanpa peringatan akan bahaya. Kita perlu reformasi menyeluruh: dari SOP keselamatan yang ketat, pelatihan dan sertifikasi porter serta pemandu, pembatasan jumlah pendaki, hingga sistem informasi jalur yang transparan dan akurat.

Di sisi lain, para pendaki juga harus berubah. Siapkan fisik dan mental. Gunakan jasa pemandu lokal. Pahami medan dan kondisi cuaca. Gunung bukan tempat menguji nekat, tetapi tempat menguji kesadaran.

Juliana datang dengan semangat dan harapan. Ia meninggalkan dunia ini dalam senyap, di balik jurang yang sunyi. Mari kita pastikan kepergiannya tidak sia-sia. Mari jadikan namanya sebagai pengingat bahwa di balik indahnya puncak, selalu ada risiko yang menuntut kita untuk lebih berhati-hati, lebih rendah hati.

Rinjani tidak pernah menuntut untuk ditaklukkan. Ia hanya meminta dihormati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button