Opini

Dari RDP Jadi Evaluasi Sewaktu Nyaleg, “Tapi, You Gak Pilih Saya Kan?”

SENANDIKA.ID – Leberte, egalite, freternite (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan) adalah semboyan Nasional Francis dan Republik Haiti, dan merupakan contoh semboyan tripertit.

Meskipun asal-usulnya berasal dari revolusi Prancis, semboyan tersebut hanya merupakan salah satu semboyan di antara semboyan lainnya dan tidak dilembagakan hingga republik ketiga pada akhir abad ke-19.

Gema semboyan ini terdengar ke seluruh penjuru Eropa dan bahkan dunia secara luas, sekaligus membawa angin segar demokrasi. Angin segar demokrasi yang kemudian dimanifastasikan dalam bentuk kedaulatan serta kebebasan manusia dalam mengutarakan pendapat dan berekspresi.

Kebebasan terdiri dari kemampuan melakukan apa pun yang tidak merugikan orang lain: dengan demikian, pelaksanaan hak-hak alami setiap laki-laki atau perempuan tidak memiliki batasan, selin batasan yang menjamin anggota masyarakat lainnya dapat menikmati hak-hak yang sama.

Kebebasan telah diburu di seluruh dunia; penggunaan nalar dianggap sebagai pemberontakan; dan perbudakan rasa takut telah membuat manusia enggan untuk berpikir.

Setelah pemerintah Napoleon, triptych membubarkan diri, karena tidak ada yang percaya bahwa kebebasan individu dan persamaan hak dapat didamaikan dengan persamaan hasil dan persaudaraan.

Gagasan tentang kedaulatan individu dan hak-hak alamiah yang dimiliki manusia sebelum disatukan dalam kolektivitas, bertentangan dengan kemungkinan terbentuknya komunitas yang transparan dan bersaudara.

Ironi ketidakpercayaan dan ketidakberdayaan dalam mengutarakan pendapat telah mengukir sejarah kelam dan menghantui proses demokrasi kita hari ini.

Hal yang demikian juga terjadi baru-baru ini pada 02 Oktober 2023 muncul di beranda media sosial (video), beberapa orang mendatangi Kantor DPR RI untuk meminta klarifikasi atas penundaan rapat dengar pendapat (RDP), karena diduga pengambilan keputusan dalam penundaan RDP yang dilaksanakan oleh Komisi VII DPR RI, adalah pengambilan keputusan sepihak.

Dalam momentum itu ada Tokoh Publik yaitu sebagai keterwakilan rakyat Gorontalo yang berada di DPR RI, sangat ironis malah memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif atas fenomena itu.

Respon yang diberikan oleh wakil rakyat penulis kira tidak demikian, karena sebagai tokoh publik atau sebagai reprensatasi dari masyarakat Gorontalo yang ada ibu kota, harusnya memberikan atensi lebih atas kedatangan rakyatnya, apa lagi masih serumpun dari tanah Hulondhalo (Gorontalo).

Sekali pun model penyampaian argumen tidak dengan kehendak, penulis kira itu adalah akumulasi emosi dari mereka yang merasa dikibuli atas pengambilan keputusan yang sepihak. Sebab, di sana ada hajad orang banyak.

Fenomena ini bisa memicu ketidakpercayaan lagi kepada pejabat publik yang menjadi keterwakilan rakyat, karena jawaban atas keresahan yang disampaikan oleh rakyat tidak sesuai dengan ekspektasi.

Malah jawaban yang tidak terduga yang terlontar dari pejabat publik tersebut: “You gak pilih saya kan?” Penulis kira jawaban yang etis disampaikan oleh pejabat publik demikian, seklipun itu adalah akumulasi ketidaksukaan atas kehadiran rakyat.

Sebagai mana kita tau pejabat publik dapat mengayomi rakyat, apalagi jika tindakannya mencerminkan mentalitas seorang pemimpin yang baik, seperti Nelson Mandela misalnya, yang memperjuangkan rakyat kulit hitam di Afrika Selatan dan menjadi simbol kepemimpinan yang berhati besar.

Mentalitas yang mengutamakan kepentingan rakyat akar rumput yang dalam hal ini adalah para penambang yang tengah mengadu nasib mereka. Ketimbang mentalitas pemimpin yang condong memikirkan nasib diri sendiri, sebab merekalah adalah aktor politik yang membangun stabilitas demokrasi saat ini, namun nyatanya telah kehilangan kompas moralnya sehingga demokrasi telah kehilangan arah dan maknanya.

Absurditas demokrasi menunjukkan bahwa terdapat ruang hampa, yang menjadi ruang ketidakjelasan antara penguasa yang mendapatkan amanah dan rakyat sebagai pihak yang memberikan amanah.

Fenomena defisit etika politik pada pejabat publik dewasa ini menjadi ironi bersama, lantaran figur yang diamanahkan rakyat untuk membangun kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, senantiasan bertindak tidak sesuai dengan norma dan etika politik sehingga dinilai telah jauh dari keadaan politik.

Bahasa bukan hanya berfungsi sebagai perantara komunikasi maupun transmisi linguistik, namun juga dapat menjadi kapital dalam mewujudkan kekuasaan. Begitulah ungkap Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1991). Bahasa dapat menjadi suatu representasi kelas dan simbol kekuasaan dari identitas cultural tertentu.

Zulfikar S. Daday
Hassta La Victoria Simpre

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button